Louhan berkembang biak di akuarium

“Selamat pagi, Amir” kata temanku Bambang suatu pagi.
“Masuklah Bang, tumben ini sudah lama tidak ke rumahku kepada Bambang.
“Maklumlah, Mir aku sibuk dengan kerjaanku. Order cetakan sedang banyak. Amir adalah pembuat Kartu Cetakan Pernikahan, Kartu nama dan lain-lain dengan sisim Sablon. Hasil kerjanya bagus sehingga tidak heran banyak langganannya.

Bambang melihat ke 4 pohon buah Srikaya di halaman rumah kami. Kebetulan sedang berbuah banyak. Bambang nyeletuk” Mir, Srikayanya banyak tuh, tinggal memetik. Kalau terlambat dipetik, biasanya malam hari dimakan Kelelawar.” Ia masuk ke dalam rumahku. 

“Punya berapa akuarium, Mir” kata Bambang sambil memperhatikan ikan-ikan yang ada di dalam 2 akuariumku di ruang tamu. Saat ini aku hanya memelihara beberapa jenis ikan hias seperti ikan Koki merah dalam satu akuarium dan di dalam akuarium yang kedua disana ada ikan Black ghost yang hitam, panjang, gerakannya lucu, ikan Sumatra yang kuning belang-belang hitam yang gerakannya lincah, Manfish yang bentuk tubuhnya seperti ikan Bawal di laut, ikan Blackmoly yang berwarna hitam pekat, ikan Pedang yang berwarna merah dan berpedang bagi yang jantan. Mereka hidup rukun di akuarum berukuran 75 Cm kali 40 Cm dan tinggi 40 Cm. Tidak sulit memberikan mereka makan, cukup sehari 2 kali pagi dan sore, diberi cacing kering yang mudah dibeli di kios pedagang Ikan dekat pasar tradisionil kota kami dengan harga terjangkau.


Ketika anjing Blasteran kami beranak 5 ekor puppies, pernah Bambang mampir ke rumah kami dan kami tawari agar ia mau mengambil dan memelihara anakan anjing, ia menolak karena isterinya takut anjing.

Setelah menyeruput Teh hangat, Bambang berkata “Wah Mir, rumahku diberkati Tuhan.”
Aku heran, temanku itu berkata demikian “Kenapa Bang, apa ada yang aneh di rumah kami?”
“Konon bila di halaman rumah yang ditanam pohon buah-buahan banyak buahnya, pelihara hewan dan mereka beranak di rumah itu. Itu menandakan rumah itu bagus untuk berkembang biak mahluk hidup dan berarti rumah itu mendapat berkat. Kalau kamu sekarang pelihara ikan di dalam akuarium dan bisa berkembang biak, itu petanda bagus Mir.”
“Hebat, Mir. Kamu dapat dari mana teori itu?” aku bertanya.

“Ini bukan teori Mir, tetapi kenyataan. Percayalah kepadaku” kata Bambang sok jagoan.
“Iya sudah aku percaya. Minumlah Teh dan Pisang Gorengnya. Kami tidak punya apa-apa lagi nih.” Aku berkata kepada Bambang.
“Wah nikmatnya nyruput Teh hangat ditemani Pisang Goreng” kata Bambang.
Aku tahu ia penggemar berat Pisang Goreng.
Mendengar teori Bambang ini, aku teringat ketika 2 tahun yang lalu, kami memelihara Ikan Louhan yang sedang ngetop. Kami mendapat kiriman 4 ekor Louhan umur sembilan bulanan. Dari adik iparku di Jakarta. Aku masih belum mengetahui mana yang Jantan dan mana yang Betina. 2 ekor Louhan diberikan kepada familiku yang datang ke rumah kami. Kami hanya pelihaya 2 ekor Louhan yang kami beri makan cacing hidup dan pelet Louhan.

Khawatir Louhan itu bertengkar maka akuarium kami yang saat itu hanya ada satu, saya bagi dua dengan sekat kaca yang dapt digeser-geser. Ke 2 Louhan itu tumbuh besar dan saling mencumbu meskipun terhalang oleh sekat kaca yang transparan. Saya membeli Buku tentang Louhan yang dijual di sebuah toko buku di kotaku untuk mempelajari segala sesuatu tentang ikan ini. Louhan yang bagus harganya bisa jutaan. Bahkan sampai diperlombakan sepetrti Burung Perkutut, Burung Berkicau, Anjing Ras dan lain-lain. Ikan Louhan yang menang kontes, akan segera ditawar oleh para penonton yang akan dijadikan Indukan Louhan. Bila beranak maka ini merupakan sumber penghasilan yang lumayan. Bisa bebas pajak penghasilan lagi.

Louhan yang saya perkirakan Betina karena warnanya tidak sebagus Louhan yang disebelahnya dan bentuk badannya yang agak bundar, perutnya makin lama makin membesar. Mungkin ia akan bertelur. Selang 2 hari kemudian ia berada ditengah akuarium sebelah kanan tempat ia selama ini. Di bawah badannya ada sekumpulan benda bundar, berwarna kekuning-kuningan. Louhan itu rupanya sudah bertelur. Telur-telurnya dijaga oleh Induknya.

Segera saya lepaskan sekat kaca pembatas akuarium. Louhan yang saya perkirakan Jantan itu, karena bentuk badannya lebih panjang dan warnya lebih cerah, segera mencumbu Louhan Betina yang sudah ia kenal beberapa waktu lamanya. Aku mengetahui bahwa telur Louhan ini akan dibuahi oleh sel-sel mani Louhan Jantan yang di keluarkan dari tubuhnya.

Sekitar 3 jam kemudian, aku segera memisahkan Louhan Jantan ke sebuah bak air yang tidak terpakai. Aku khawatir Louhan yang Jantan akan menyerang Betinanya. Louhan Betina menjagai telur-telurnya. Hari demi hari aku memperhatikan perkembangan telur-telur Louhan itu. 

Pada hari ke 4 dan seterusnya secara bertahap, mulai tampak bintik-bintik hitam ( yang merupakan mata Louhan anakan ) dan bagian lainnya bergerak-gerak, tanda suatu kehidupan. Akhirnya semua telur menetas menjadi anakan Louhan. Segera Induk Louhan itu saya masukkan ke dalam akuarium lain yang kubeli di toko akuarium. Aku khawatir anak-anaknya akan disantapnya bila ia lapar. Setelah menetas, anakan Louhan tidak perlu perlindungan Induknya karena mereka berada di dalam akuarium yang bebas dari predator.

Selama 3 hari, kuning telur yang masih berada di dalam tubuh anakan ini cukup untuk sumber makanan bagi mereka. Hari ke 4 dan selanjutnya aku memberi kutu air yang kubeli dari penjual kutu air, spesial untuk Louhan. Air akuarium berubah menjadi coklat seperti air lumpur. Jutaan kutu air berada di dalam akuariumku itu.

Anakan Louhan itu cepat membesar sampai sepanjang 5 mm. Minggu berikutnya aku lupa memberi makan dan akibatnya setiap pagi aku melihat banyak anakan Louhan yang terapung dipermukaan iar, mati!

“Jangan terlambat memberi makan anakan Louhan” demikian kata si penjual kutu air langgananku.

Aku rajin memberi makan anakan Louhan ini setiap 2 hari aku memasukkan sekantong kutu air ke dalam akurarium itu.

Tibalah saatnya memberikan makanan yang lebih besar dari kutu air, cincangan cacing rambut yang berwarna merah. Rakus benar mereka makan dalam sekejap cincangan cacing itu habis disantap mereka.

Akuarium kami ganti airnya karena air yang lama sudah terlalu kotor. Cukup merepotkan memelihara ikan Louhan ini. Isteriku turut membantu mengganti air akuarium.
“Mah, cobalah hitung berapa jumlah anakan Louhan ini sekarang. Rasanya kok banyak yuang mati” aku berkata kepada isteriku.
Dengan serok kecil, isteriku menghitungnya “ Satu, dua…. sambil memasukkan hasil hitungannya ke dalam sebuah ember yang terisi air bersih.
“Masih ada 66 ekor “kata isteriku gembira.
“Kalau seekor dihargai Rp. 10.000,- lumayan untuk ganti beli kutu air dan upah kerja merawat mereka” isteriku menghayal. Terbayang isi dompetnya akan bertambah banyak.

Suatu hari, isteriku brekata kepadaku “Pah, tadi saya bertemu dengan si Roni.”
“Siapa Roni itu?” aku bertanya.
“Roni adalah kenalanku yang pedagang ikan hias. Katanya ia mau memborong anakan Louhan kita.”
“Wah bagus, kalau ia mau memborongnya. Kita pilih saja beberapa ekor anakan yang besar dan bagus badannya untuk dipelihara” aku turut gembira.

Roni datang dan menaksir harganya. 
“Kalau Ibu minta Rp. 10.000,- per ekor, saya tidak berani. Saat ini Louhan sudah sulit dijualnya. Lagi pula ini masih anakan, tidak semua anakan dapat jadi Louhan yang bagus” seperti biasa seorang pembeli menjelek-jelekan barang yang mau dibelinya agar harganya bisa lebih murah.
“Saya berani Rp. 300.000,- kalau Ibu berikan, saya akan ambil uangnya sekarang” kata Roni.
Kami berunding sejenak dan isteriku bernegosiasi dengan Roni.
“Lima ratus ribu deh, Ron. Anakan ini sehat-sehat, kami tetaskan sendiri dari Induk yng sehat pula. Isteriku tidak kalah argumentasinya. Memang wanita pandai berdebat.
“Kalau Ibu setuju, saya naikan tawaran saya menjadi tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Boleh ya Bu.” Kata Roni sambil berjalan ke pintu ruang tengah kami.
Susah juga cari orang yang mau memborong semua anakan Louhan. Akhirnya kami merelakan anakan Louhan itu dengan harga terakhir yang diajukan Roni. 
Lumayan, ikan yang kami rawat bisa memberi uang kepada kami. Betul kata temanku Bambang, rumah ini diberkati Tuhan. Amin.

sumber : Santai Sejenak